1. Pengertian Ideologi
Ideologi
berasal dari kata “idea” dari bahasa
Yunani “eidos”, yang berarti gagasan,
konsep, pengertian dasar cita-cita dan logos yang berarti ilmu. Kata “eidos” berasal dar bahasa Yunani yang
berarti bentuk. Ada lagi kata “idein”
yang artinya melihat. Secara harafiah, ideologi dapat diartikan ilmu
pengetahuan tentang ide-ide (the science
of ideas) atau ajaran tentang pengertian-pengertian dasar (Ma’mur, 2005:
1-2).
Pengertian lain secara harafiah,
ideologi berarti “a system of idea”
suatu rangkaian ide yang terpadu manjadi satu. Dalam penggunaanny, istilah ini
dipakai secara khas dalam bidang politik untuk menunjukkan “seperangkat nilai yang
terpadu, berkenaan dengan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara” (Moerdono,1991:
373-374).
Ideologi juga dapat diartikan suatu
gagasan yang berdasarkan ide tertentu (Darmodiharjo, 1984: 47-48). Apabila ada
suatu gagasan yang menjadi pedoman bagi suatu pedoman aksi biasanya disebut
Ideologi. Ideologi telah merupakan rangkuman gagasan. Pada umumnya ideologi
erat kaitannya dengan politik sehingga sering kita dengar adanya ideologi
politik. Erat hubungannya dengan politik ini adalah ideologi nasional, ideologi
bangsa.
Secara umum ideologi adalah
seperangkat gagasan atau pemikiran yang berorientasi pada tindakan yang
diorganisir menjadi suatu sistem yang teratur. Dalam ideologi terkandung tiga
unsur, yaitu (1) adanya suatu penafsiranatau pemehaman terhadap kenyataan; (2)
memuat seperangkat nilai-nilai atau preskripsi moral; (3) memuat suatu
orientasi suatu tindakan , ideologi merupakan suatu pedaman kegiatan untuk
mewujudkan nilai-nilai yang termuat di dalamnya (Sastrapratedja, 1991: 142).
Mubyarto (1991: 239) mendefinisikan
bahwa ideologi adalah sejumlah doktrin, kepercayaan dan simbol-simbol
masyarakat atau suatu bangsa yang menjadi pegangan dan pedoman kerja (atau
perjuangan) untuk mencapai tujuan maasyarakat atau bangsa itu.
Oesman dan Alfian (1991: 6) memaknai
bahwa ideologi berintikan serangkaian nilai (norma) atau sistem nilai dasar
yang bersifat menyeluruh dan mendalam yang dimilliki dan dipegang oleh suatu
masyarakat atau bangsa sebagai wawasan atau pandangan hidup meraka. Melalui
rangkaian atau sistem nilai dasar ini mereka mengetahui bagaimana cara yang
paling baik, yaitu secara normal atau normatif dianggap benar dan adil, dalam
bersikap dan bertingkah laku untuk memelihara, mempertahankan dan membangun
kehidupan duniawi bersama dengan berbagai dimensinya.
Menurut , Wibisono (dalam Pasha, 2003:
138) bahwa unsur ideologi ada tiga, yaitu (a) keyakinan, dalam arti bahwa setiap ideologi selalu menunjuk adanya
gagasan-gagasan vital yang sudah diyakini kebenarannya untuk dijadikan dasar
dan arah strategi bagi tercapainya tujuan yang telah ditentukan; (b) mitos, dalam arti bahwa setiap konsep
ideologi selalu memitoskan suatu ajaran yang secara optimik dan determistik
pasti akan menjamin tercapainya tujuan melalui cara-cara yang telah ditentukan
pula; (c) loyalitas, dalam arti bahwa
setiap ideologi selalu menuntut keterlibatan optimal atas dasar loyalitas dari
para subjek pendukungnya.
Poespowardojo (1991: 22) mengemukakan
bahwa ideologi dipahami sebagai keseluruhan pandangan, cita-cita, nilai dan
keyakinan yang ingin diwujudkan secara konkrit dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
2. Makna Ideologi bagi Bangsa dan
Negara
Makna
ideologi Pancasila adalah sebagai keseluruhan pandangan, cita-cita, keyakinan
dan nilai bangsa Indonesiayag normatif perlu diwujudkan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (Poespowardojo, 1991: 46).
Menurut Oesman dan Alfian (1991: 6),
bahwa bagi suatu bangsa dan negara ideologi adalah wawasan, pandangan hidup
atau falsafah kebangsaan dan kenegaraannya. Oleh karena itu, ideologi mereka
menjawab secara meyakinkan pertanyaan mengapa dan untuk apa mereka menjadi satu
bangsa dan mendirikan negara. Sejalan dengan itu ideologi adalah landasan dan
sekaligus tujuan dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara mereka
dengan berbagai dimensinya. Sebagai ideologi nasional Pancasila mengandung
sifat itu.
Pancasila dinyatakan sebagai ideologi
negara Republik Indonesia dengan tujuan bahwa segala sesuatu dalam bidang
pemerintahan ataupun semua yang berhubungan dengan hidup kenegaraan harus
dilandasi dalam titik tolaknya, dibatasi dengan gerak pelaksanaanya, dan diarahkan
dalam mencapai tujuannya dengan pancasila (Bakry, 1985: 42).
Menurut Poespowardojo (1991: 48)
ideologi mempunyai beberapa fungsi, yakni memberikan:
a. Struktur
kognitif, ialah keseluruhan pengetahuan yang dapat merupakan landasan untuk
memahami dan menafsirkan dunia dan kejadian-kejadian dalam alam sekitarnya;
b. Orientasi
dasar dengan membuka wawasan yang memberikan makna serta menunjukkan tujuan
dalam kehidupan manusia;
c. Norma-norma
yang menjadi pedoman dan pandangan hidup seseorang untuk melangkah dan bertindak;
d. Bekal
dan jalan bagi seseorang untuk menemukan identitasnya;
e. Kekuatan
yang mampu menyemangati dan mendorong seseorang untuk menjalankan kegiatan dan
mencapai tujuan;
f. Pendidikan
bagi seseorang atau masyarakat untuk memahami, menghayati serta memolakan
tingkah lakunya sesuai dengan orientasi dan norma-norma yang terkandung di
dalamnya
Poespowardojo
(1991: 51) lebih lanjut menguraikan bahwa Pancasila sebagai ideologi memiliki
tiga fungsi utama, yaitu:
a. Pancasila
sebagai Ideologi Persatuan
Bangsa
Indonesiamerupakan bangsa yang heterogen, serba kemajemukan, terdiri dari
berbagai suku bangsa. Masyarakat Indonesia bersifat multi etnis, multi
religius, dan multi ideologis. Peranan Pancasila yang menonjol sejak pemulaan
penyelenggaraan negara Republik Indonesia adalah fungsinya dalam mempersatukan
seluruh rakyat Indonesia menjadi bangsa yang berkepribadian dan percaya pada
diri sendiri.
Berdasarkan sirtuasi bangsa yang
demikian, maka masalah pokok yang pertama-tama harus diatasi pada masa awal
kemerdekaan adalah bagsimana menggalang persatuan dan kesatuan bangsa yang
sangat dibutuhkan untuk mengawali penyelenggaraan negara. Dengan perkataan lain
Nation and Character Building
merupakan prasyarat dan tugas utama yang harus dilaksanakan. Dalam konteks
politik inilah Pancasila dipersepsikan sebagai ideologi persatuan. Pancasila
diharapkan mampu memberikan jaminan akan terwujudnya misi politik itu karena
merupakan hasil rujukan nasional, dimana masing-masing kekuatan sosial
masyarakat merasa terikat dan ikut bertanggung jawab atas masa depan bangsa dan
negaranya. Dengan demikian Pancasila berfungsi pula sebagai acuan bersama, baik
dalam memecahkan perbedaan serta pertentangan politik di antara golongan dan
kekuatan politik, maupun dalam memagari seluruh unsur dan kekuatan politik
untuk bermain di dalam lapangan yang disediakan oleh Pancasila dan tidak
melanggar dengan keluar pagar (Poespowardojo, 1991: 52).
b. Pancasila
sebagai Ideologi Pembangunan
Dalam
penyelenggaraan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, Pancasila semakin
jelas disadari sebagai etika sosial yang mampu memberikan kaidah-kaidah penting
bagi pembangunan yang sedang dilaksanakan. Pancasila bukan saja berfungsi
sebagai pagar atau wasit dalam percaturan politik, melainkan memberikan orientasi
dalam pembangunan, wawasan ke depan dengan konsep-konsep yang secara
substansial dieksplisitasikan dari nilai-nilai dasar dari lima sila.
Menurut Husodo (2006: 16) keberhasilan
pancasila sebagai suatu ideologi, akan diukur dari terwujudnya kemajuan yang
pesat, kesejahteraan yang tinggi, dan persatuan yang mantap dari seluruh rakyat
Indonesia. Negara kita yang belum mampu meningkatkan kualitas hidup rakyat,
telah pula menjadi penyebab merosotnya kepercayaan sebagian masyarakat pada
ideologi negara Pancasila. Karena di waktu yang lalu, Pancasila melalui penataran
P4 juga dianggap telah digunakan untuk melestarikan kekuasaan, maka runtuhnya
kekuasaan telah pula menurunkan kepercayaan sebagian masyarakat pada Pancasila.
c. Pancasila
sebagai Ideologi Terbuka
Untuk
manjawab tantangan bangsa Indonesia yang semakin kompleks, maka Pancasila perlu
tampil sebagai ideologi terbuka, karena ketertutupan hanya membawa membawa
kepada kemandegan. Keterbukaan bukan berarti mengubah nilai-nilai dasar
Pancasila, tetapi mengeksplisitkan wawasannya secara lebih konkrit, sehingga
memiliki kemampuan yang lebih tajam untuk memecahkan masalah-masalah baru.
Menurut Alfian (1991: 192) kekuatan
suatu ideologi tergantung pada kualitas tiga dimensi yang dimiliki oleh
ideologi itu sendiri, yakni:
a. Dimensi
realitas, bahwa nilai-nilai dasar yang terkandung di dalam ideologi tersebut
secara riil berakar dalam dan/hidup dalam masyarakat atau bangsanya, terutama
karena nilai-nilai dasar tersebut bersumber dari budaya dan pengalaman sejarahnya
(menjadi volkgeist/jiwa bangsa);
b. Dimensi
idealisme, bahwa nilai-nilai dasar ideologi tersebut mengandung idealisme yang
memberi harapan tentang masa depan yang lebih baik melalui pengalaman dalam
praktik kehidupan bersama sehari-hari dengan berbagai dimensinya;
c. Dimensi
fleksibilitas/dimensi pengembangan, artinya ideologi tersebut memiliki keluwesan
yang memungkinkan dan merangsang pengembangan pemikiran-pemikiran baru yang
relevan dengan ideologi bersangkutan tanpa menghilangkan atau mengingkari
hakikat atau jati diri yang terkandung dalam nilai-nilai dasarnya.
B.
Macam-macam Ideologi
1.
Liberalisme
Liberalisme
dari kata liberalis (bahasa Latin)
yang merupakan kata turunan dari liber yang
berarti bebas, merdeka, tak terikat, tak tergantung. Ideologi ini mementingkan
kebebasan perseorangan, ia terpantul dalam aspek segala kehidupan. Berpangkal
tolak dari anggapan bahwa kebahagiaan perseorangan akan dapat pula terwujud
menjadi kebahagiaan masyarakat, tidaklah mengherankan kemudian paham ini
berkembang atau bervariasi menjadi pragmatisme; yang berguna bagi perseorangan
adalah baik. Seseorang mengejar apa yang dianggapnya terbaik yang barangkali
akibatnya akan merugikan orang lain (Darmodiharjo, 1984: 58).
Liberalisme merupakan paham atau
ajaran yang mengagungkan kebebasan individu. Dalam ajaran liberalisme manusia
pada hakikatnya adalah makhluk individu yang bebas, pribadi yang utuh dan
lengkap serta terlepas dari manusia lainnya sehingga keberadaan individu lebih
penting dari masyarakat. Dan fungsi Negara adalah untuk menjaga supaya
kebebasan individu terjamin dalam mengejar tujuan-tujuan pribadinya, untuk
masalah keyakinan atau agama pada Negara liberalisme menganut paham sekuler.
Beberapa pokok pemikiran yang
terkandung di dalam konsep liberalisme, adalah (1) inti pemikiran kebebasan
individu (2) perkembangannya, berkembang sebagai respons terhadap pola
kekuasaan negara yang absolut, pada tumbuhnya negara otoriter yang disertai
dengan pembatasan (3) landasan pemikirannya adalah bahwa manusia pada
hakikatnya adalah baik dan berbudi-pekerti, tanpa harus diadakannya pola-pola
pengaturan yang ketat dan bersifat memaksa terhadapnya (4) sistem pemerintahan demokrasi(http://abasozora.wordpress.com/2008/11/15/a).
2.
Komunisme
Ideologi
Komunis menurut Darmodharjo (1984: 65-67) memiliki beberapa ciri khusus,
seperti:
a. Ateisme,
artinya
penganut ini tidak percaya adanya Tuhan dalam arti bahwa kehidupan manusia
berdasarkan atas suatu evolusi. Kehidupan ini ditentukan oleh hukum-hukum
kehidupan tertentu. Agama dimusuhi, agama di anggap sebagai penghalang
kemajuan. Agama memelihara kekolotan. Bahkan para pengikutnya diperkenankan
atau dianjurkan untuk bersikap anti agama.
b.
Dogmatisme,
tidak
mempercayai pikiran orang lain, artinya ajaran-ajaran yang baku berdasarkan
atas pikiran Marx-Engels harus diterima begitu saja.
c.
Otoritas,
pelaksanaan
politik berdasarkan kekerasan.
d.
Pengkhianatan
terhadap HAM, tidak mengakui adanya hak-hak asasi manusia,
hanya partai yang mempunyai hak.
e.
Diktator,
kekuasaan
pemerintahan dipegang oleh partai komunis, golongan lain dilenyapkan.
f.
Interpretasi
ekonomi, sistem ekonomi diatur secara sentralistik, artinya
pengaturan dan penguasaan ekonomi diatur oleh pusat. Negara mengambil alih
semua kekuasaan dan pengaturan ekonomi.
Gelombang
komunisme abad kedua puluh ini, tidak bisa dilepaskan dari kehadiran Partai
Bolshevik di Rusia. Gerakan-gerakan komunisme internasional yang tumbuh sampai
sekarang boleh dikatakan merupakan perkembangan dari Partai Bolshevik yang
didirikan oleh Lenin. Beberapa hal yang terkait dengan komunisme seperti (1)
inti pemikiran: perjuangan kelas dan penghapusan kelas-kelas di masyarakat,
sehingga negara hanya sasaran antara; (2) landasan pemikirannya meliputi (a)
penolakan situasi dan kondisi masa lampau, baik secara tegas maupun tidak; (b)
analisa yang cenderung negatif terhadap situasi dan kondisi yang ada; (c)
berisi resep perbaikkan untuk masa depan; (d) rencana-rencana tindakan jangka
pendek yang memungkinkan terwujudnya tujuan-tujuan yang berbeda-beda; (3) sistem
pemerintahan (hanya) otoriter/ totaliter/ diktator.
3.
Fasisme
Fasisme
merupakan sebuah ideologi yang berusaha menghidupkan kembali kehidupan sosial,
ekonomi dan budaya dari negara dengan berlandaskan pada asas nasionalisme yang
tinggi, dengan ciri-ciri (1) tidak setuju dengan kemapanan yang anti perubahan
(konservatisme); (2) selalu mengangkat kembali kenangan kejayaan masa lalu; (3)
selalu muncul ketika Negara mengalami krisis.
Berdasarkan pendapat Darmodiharjo
(1984: 75) Fasisme yang berkembang di Jerman menjadi Naziisme, memiliki
beberapa ciri khas, antara lain:
a. Rasialisme,
pengikut ideologi ini tidak bebas berpikir terhadap ideologi itu sendiri. Semua
orang harus tunduk pada pikiran yang telah diletakkan oleh ideologi. Dogma yang
diletakkan oleh pelaksan ideologi, baik di Jerman maupun di Italia harus
diikuti dengan patuh tanpa kritik dari mana pun datangnya.
b. Diktator,
ajaran ini dogmatis, kritik dianggap suatu kejahatan. Perlawanan terhadap
ajaran ajaran dan kekuasaan pemerintah dimusnahkan dengan cara kekerasan.
Cara-cara demokratis tidak dikenal. Pemerintahan dilakukan oleh sekelompok
kecil orang. Pemerintahan dikuasai oleh pertai penguasa dengan kekuasaan yang
besar sekali.
c. Imperialisme,
atas dasar ideologi mereka melakukan penguasaan atas bangsa lain. Akibatnya
imperialisme adalah suatu akibat logis dari paham yang realistis itu.
Semboyan
fasisme, adalah “Crediere, Obediere,
Combattere” (yakinlah, tunduklah, berjuanglah). Berkembang di Italia,
antara tahun 1992-1943. Setelah Benito Musolini terbunuh tahun 1943, fasisme di
Italia berakhir. Demikian pula Naziisme di Jerman. Namun, sebagai suatu bentuk
ideologi, fasisme tetap ada. Fasisme benyak kemiripannya dengan teori pemikiran
Machiavelistis dari Niccolo Machiavelli, yang menegaskan bahwa negara dan
pemerintah perlu bertindak keras agar “ditakuti” oleh rakyat. Fasisme di Italia
(Naziisme di Jerman), sebagai sistem pemerintahan otoriter diktator memang
berhaasil menyelamatkan Italia pada masa itu (1922-1943) dari anarkisme dan
dari komunisme. Walaupun begitu, kenyataanya adalah, bahwa fasisme telah menginjak-injak
demokrasi dan hak asasi. Beberapa ciri fasisme adalah (1) inti pemikiran:
negara dierlukan untuk mengatur masyarakat; (2) filsafat: rakyat diperintah
dengan cara-cara yang membuat mereka takut dengan demikian patuh kepada
pemerintah. Lalu, pemerintah yang mengatur segalanya mengenai apa yang
diperlukan dan apa yang tidak diperlukan oleh rakyat; (3) landasan pemikiran:
suatu bangsa perlu mempunyai pemerintahan yang kuat dan berwibawa sepenuhnya
atas berbagai kepentingan rakyat dan dalam hubungannya dengan bangsa-bangsa
lain. Oleh karena itu, kekuasaan negara perlu dipegang koalisi sipil dengan
militer yaitu partai yang berkuasa (fasis di Italia, Nazi di Jerman. Peronista
di Argentina) bersama-sama pihak angkatan bersenjata; (4) sistem pemerintahan
(harus): otoriter.
4.
Marxisme
Marxisme,
dalam batas-batas tertentu bisa dipandang sebagai jembatan antara revolusi Prancis
dan revolusi Ploretar Rusia tahun 1917. Untuk memahami Marxisme sebagai satu
ajaran filsafat dan doktrin revolusioner, serta kaitannya dengan gerakan
komunisme di Uni Soviet maupun di bagian dunia lainnya, barangkali perlu
mengetahui terlabih dahulu kerangka histories Marxisme itu sendiri.
Marxisme tidak bisa lepas dari
nama-nama tokoh seperti Karl Marx (1818-1883) dan Friedrich Engles (1820-1895).
Kedua tokoh inilah yang mulai mengembangkan akar-akar komunisme dalam
pengertiannya yang sekarang ini. Transisi dari kondisi masyarakat agraris ke
arah industrialisasi menjadi landasan kedua tokoh di atas dalam mengembangkan
pemikirannya. Dimana Eropa barat telah menjadi pusat ekonomi duna, dan adanya
kenyataan di mana Inggris Raya berhasil menciptakan model perkembangan ekonomi
dan demokrasi politik. Tiga hal yang merupakan komponen dasar dari Marxisme
adalah (1) filsafat dialectical and
historical materialism (2) sikap terhadap masyarakat kapitalis yang
bertumpu pada teori nilai tenaga kerja dari David Ricardo (1972) dan Adam Smith
(1723-1790) (3) menyangkut teori negara dan teori revolusi yang dikembangkan
atas dasar konsep perjuangan kelas. Konsep ini dipandang mampu membawa
masyarakat ke arah komunitas kelas. Dalam teori yang dikembangkannya, Marx memang
meminjam metode dialektika Hegel. Menurut metode tersebut, perubahan-perubahan
dalam pemikiran, sifat dan bahkan perubahan masyarakat itu sendiri berlangsung melalui
tiga tahap, yaitu tesis (affirmation), antitesis (negation), dan sintesis
(unification). Dalam hubungan ini Marx cenderung mendasarkan pemikiran kepada
argumentasi Hegel yang menandaskan bahwa kontradiksi dan konflik dari berbagai
hal yang saling berlawanan satu sama lain sebenarnya bisa membawa pergeseran
kehidupan sosial-politik dari tingkat yang sebelumnya ke tingkat yang lebih
tinggi. Selain dari itu, suatu tingkat kemajuan akan bisa dicapai dengan cara
menghancurkan hal-hal yang lama dan sekaligus memunculkan hal-hal yang baru.
5. Ideologi Pancasila
Bangsa
Indonesia yang beraneka ragam suku dan kebudayaan, dengan ideologi Pancasila
dapat hidup serasi, persatuan dan kesatuan bangsa dapat dijaga. Negara
Indonesia yang berdasarkan Pancasila bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil
dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan nilai-nilai
Pancasila.
Negara memberikan kebebasan kepada
warga negaranya untuk memilih agama dan beribadat sesuai dengan keyakinannya.
Di negara Indonesia manusia diakui dan diperlakukan sesuai dengan harkat dan
martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Bangsa Indonesia hendaknya
menempatkan persatuan, kesatuan serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan
negara di atas kepentingan pribadi dan golongan. Nilai-nilai demokrasi
dijunjung tinggi, sehingga tidak dibenarkan memaksakan kehendak kepada pihak
lain. Di samping itu juga dikembangkan perbuatan-perbuatan yang luhur yang
mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotong-royongan guna
menciptakan keadilan sosial dalam masyarakat Indonesia.
C. Makna dan Peranan Ideologi Pancasila
sebagai Ideologi Bangsa dan Negara
Dalam
menjabarkan nilai-nilai dasar Pancasila menjadi semakin operasional dan dengan
demikian semakin menunjukkan fungsinya bagi bangsa Indonesia dalam menghadapi
berbagai masalah dan tantangan dewasa ini, perlu diperhatikan beberapa dimensi yang
menunjukkan ciri khas dalam orientasi Pancasila. Menurut Poespowardojo (1991:
59-60) ada tiga dimensi sekurang-kurangnya. Pertama dimensi teleologis, yang
menunjukkan bahwa pembangunan mempunyai tujuan yaitu mewujudkan cita-cita
proklamasi 1945. Hidup bukanlah oleh nasib, tetapi tergantung pada rahmat Tuhan
Yang Maha Esa dan usaha manusia. Dengan demikian dimensi ini menimbulkan
dinamika dalam kehidupan bangsa. Kehidupan manusia tidak ditentukan oleh
keharusan sejarah yang tergantung pada kekuatan produksi, sebagaimana
dikemukakan pandangan Marxisme. Manusia terlalu tinggi derajatnya untuk
sepenuhnya ditentukan semata-mata oleh faktor-faktor ekonomi. Manusia mempunyai
cita-cita, mempunyai semangat dan mempunyai niat atau pun tekad. Oleh karena
manusia mampu mewujudkan cita-cita, semangat, niat maupun tekadnya itu ke dalam
kenyataan dengan daya kreasinya.
Dimensi
kedua adalah dimensi etis. Ciri
ini menunjukkan bahwa dalam Pancasila manusia dan martabat manusia kedudukan
yang sentral. Seluruh proses pembangunan diarahkan untuk mengangkat derajat manusia,
melalui penciptaan mutu kehidupan yang manusiawi. Ini berarti bahwa
pembangunan, yang manusiawi harus mewujudkan keadilan masyarakat dalam berbagai
aspek kehidupan. Di lain ihak manusia pun dituntut untuk bertanggung jawab atas
usaha dan pilihan yang ditentukannya. Dimensi etis menuntut pembangunan yang
bertanggung jawab.
Dimensi ketiga adalah dimensi
integral-integratif. Dimensi ini menempatkan manusia tidak secara individualis,
melainkan dalam konteks strukturnya. Manusia adalah pribadi, namun juga
merupakan relasi. Oleh karena itu, manusia harus dilihat dari keseluruhan
sistem, yang meliputi masyarakat, dunia dan lingkungannya. Pembangunan
diarahkan bukan saja kepada peningkatan kualitas manusia, melainkan juga kepada
peningkatan kualitas strukturnya. Hanya dengan wawasan yang utuh demikian itu
keseimbangan hidup bisa terjamin.
Bakry (1985: 42) mengemukakan bahwa
pancasila dinyatakan sebagai ideologi negara Republik Indonesia dengan tujuan
bahwa segala sesuatu dalam bidang pemerintahan ataupun semua yang berhubungan
dengan hidup kenegaraan harus dilandasi dalam titik tolaknya, dibatasi dengan
gerak pelaksanaannya, dan diarahkan dalam mencapai tujuannya dengan pancasila.
Sesuai dengan semangat yang terbaca
dalam Pembukaan UUD 1945, Ideologi Pancasila yang merupakan dasar negara itu
berfungsi dalam menggambarkan tuuan negara RI maupun dalam proses pencapaian
tujuan negara tersebut. Ini berarti bahwa tujuan negara yang secara material
dirumuskan sebagai “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial” harus mengarah kepada terwujudnya
masyarakat yang adil dan makmur dan sejahtera sesuai dengan semangat dan
nilai-nilai Pancasila. Demikian pula proses pencapaian tujuan tersebut dan perwujudannya melalui perencanaan, kebijaksanaan
dan keputusan politik harus tetap memperhatikan dan bahkan merealisasikan
dimensi-dimensi yang mencerminkan watak dan ciri Pancasila (Poespowardojo,
1991: 45-46).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar